BERLIN – Friedrich Merz resmi menjadi kandidat kuat Kanselir Jerman setelah kubu oposisi konservatif meraih kemenangan dalam pemilu yang digelar pada Minggu (23/2/2025). Namun, jalan Merz menuju kepemimpinan tidaklah mudah, karena ia harus membangun koalisi yang stabil di tengah dinamika politik yang kompleks.
Hasil pemilu menunjukkan partai sayap kanan Alternative for Germany (AfD) meraih suara terbanyak kedua, mengubah lanskap politik Jerman secara signifikan. Namun, mayoritas partai arus utama menolak bekerja sama dengan AfD, yang mendapat dukungan dari tokoh-tokoh sayap kanan global seperti Elon Musk dan mantan Presiden AS, Donald Trump.
Tantangan Koalisi yang Rumit
Meskipun partainya, Uni Demokratik Kristen (CDU), berhasil mengungguli pesaingnya, Merz menghadapi tantangan besar dalam membangun pemerintahan yang stabil. CDU meraih posisi teratas, tetapi dengan hasil terburuk kedua dalam sejarah pascaperang Jerman.
Sementara itu, Partai Sosial Demokrat (SPD) yang dipimpin oleh Kanselir Olaf Scholz mencatat hasil terburuknya sejak Perang Dunia Kedua, hanya meraih 16,5% suara. Partai Hijau juga mengalami penurunan dengan 11,8%, sementara partai sayap kiri Die Linke melonjak dengan dukungan 8,7%.
Koalisi tiga partai yang sebelumnya menguasai pemerintahan—SPD, Partai Hijau, dan FDP—runtuh pada November lalu akibat perbedaan tajam dalam kebijakan anggaran. Dengan dinamika ini, pembentukan pemerintahan baru diperkirakan akan berlangsung alot dan berpotensi membuat Scholz tetap menjabat sebagai kanselir sementara selama beberapa bulan ke depan.
Jerman di Persimpangan: Menjauh dari AS, Fokus ke Eropa
Merz, yang belum pernah menduduki jabatan pemerintahan sebelumnya, mengambil sikap tegas terkait hubungan luar negeri. Ia menegaskan bahwa Eropa harus lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat.
Ia bahkan secara terang-terangan mengkritik “campur tangan” dari Washington dalam politik Jerman, menyamakannya dengan intervensi Rusia. Menurut Merz, prioritas utamanya adalah memperkuat Eropa secara ekonomi dan militer agar dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada AS.
Dalam salah satu pernyataannya, ia mempertanyakan apakah NATO dalam bentuknya saat ini masih relevan bagi Jerman dan Eropa. Pernyataan ini memicu perdebatan luas, mengingat NATO selama ini menjadi pilar utama keamanan di benua tersebut.
Dampak Pemilu bagi Masa Depan Jerman dan Eropa
Dengan jumlah pemilih yang mencapai 83%—tertinggi sejak reunifikasi Jerman pada 1990—pemilu kali ini menunjukkan antusiasme publik yang besar dalam menentukan arah masa depan negara.
Namun, dengan belum jelasnya format koalisi yang akan terbentuk, Jerman berpotensi menghadapi masa ketidakpastian politik yang panjang. Keterlambatan dalam pembentukan pemerintahan dapat menghambat pengambilan keputusan penting, terutama dalam mengatasi krisis ekonomi dan ketegangan geopolitik di Eropa.
Kini, semua mata tertuju pada bagaimana Merz akan menavigasi negosiasi politik yang rumit dan apakah ia mampu membawa Jerman ke era baru yang lebih mandiri dan berpengaruh di panggung global.