DAMASKUS – Lebih dari 1.000 orang tewas dalam bentrokan dua hari antara militan yang terkait dengan sekte Alawite yang loyal kepada Bashar al-Assad dan pasukan keamanan di bawah pemerintahan baru Suriah. Di antara korban, 745 adalah warga sipil, 125 anggota pasukan keamanan Suriah, dan 148 pejuang yang setia kepada Assad, menurut Syrian Observatory for Human Rights.
Pembantaian Warga Sipil
Rami Abdulrahman, kepala Syrian Observatory for Human Rights, melaporkan bahwa pembunuhan massal di Jableh, Baniyas, dan daerah sekitarnya di jantung wilayah Alawite Suriah merupakan kekerasan terburuk dalam beberapa tahun terakhir dalam perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun. Korban termasuk wanita dan anak-anak dari minoritas Alawite, seperti yang dilaporkan oleh Reuters.
Pemerintah yang baru berkuasa di Suriah, pada Kamis, 6 Maret 2025, mulai menindak pemberontakan yang baru muncul setelah serangan mematikan oleh militan yang terkait dengan pemerintahan rezim Assad sebelumnya.
Bentrokan Berdarah
Puluhan anggota pasukan keamanan tewas dalam bentrokan sengit dengan militan, kata seorang pejabat keamanan Suriah. Otoritas mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia selama operasi, yang mereka sebut akibat adanya kelompok warga sipil dan pejuang yang tidak terorganisir yang berusaha mendukung pasukan keamanan atau terlibat dalam kegiatan kriminal di tengah kekacauan.
Sumber dari Kementerian Pertahanan pada Sabtu, 8 Maret 2025, mengatakan kepada media pemerintah bahwa semua jalan menuju pantai telah diblokir untuk mencegah pelanggaran dan memulihkan ketenangan, dengan pasukan keamanan dikerahkan di jalan-jalan kota pesisir.
Pembunuhan dengan Gaya Eksekusi
Sumber tersebut menambahkan bahwa komite darurat yang dibentuk untuk memantau pelanggaran akan merujuk siapa pun yang ditemukan tidak mematuhi perintah komando militer ke pengadilan militer.
Skala kekerasan yang dilaporkan, yang mencakup laporan tentang pembunuhan dengan gaya eksekusi terhadap puluhan pria Alawite di satu desa, semakin mempertanyakan kemampuan otoritas pemerintah Islam untuk memerintah secara inklusif. Hal ini menjadi perhatian utama bagi ibu kota Barat dan Arab.
Assad digulingkan pada Desember lalu setelah puluhan tahun memimpin rezim dinasti yang ditandai dengan penindasan yang keras dan perang saudara yang menghancurkan.
Presiden sementara Suriah, Ahmed Sharaa, mendukung tindakan keras ini dalam pidato yang disiarkan televisi pada Jumat, 7 Maret 2025, mengatakan bahwa pasukan keamanan tidak boleh membiarkan siapa pun “melebih-lebihkan tanggapan mereka… karena yang membedakan kita dari musuh kita adalah komitmen kita terhadap nilai-nilai kita.”
“Ketika kita menyerah pada moral kita, kita dan musuh kita berakhir di pihak yang sama,” katanya, seraya menambahkan bahwa warga sipil dan tawanan tidak boleh diperlakukan dengan buruk.
Abdulrahman, seorang kritikus terkemuka terhadap pemerintahan yang dipimpin Assad yang telah mendokumentasikan dugaan pembunuhan selama lebih dari satu dekade, mengatakan: “Ini bukan soal mendukung atau menentang rezim Assad sebelumnya. Ini adalah pembantaian sektarian yang bertujuan untuk mengusir penduduk Alawite dari rumah mereka.”
Kementerian Pertahanan dan badan keamanan dalam negeri mengatakan pada hari Sabtu bahwa mereka sedang berusaha untuk memulihkan ketenangan dan ketertiban serta mencegah pelanggaran terhadap warga sipil di wilayah pesisir.
Enam penduduk wilayah pesisir melaporkan bahwa ribuan warga Alawite dan Kristen telah meninggalkan rumah mereka sejak Kamis, karena takut akan keselamatan mereka.
Beberapa ratus orang, sebagian besar wanita dan anak-anak serta orang tua, mencari perlindungan di pangkalan militer Rusia di Mediterania di Hmeimim, Latakia, menurut rekaman dari tempat kejadian dan dua orang yang mengetahui masalah tersebut.